Kampung Adat Cireundeu : Leluhur dan Kearifan Lokal
Bagi yang sudah bosan
ke daerah bandung tapi hanya melihat pusat-pusat perbelanjaan dan tempat wisata
yang itu-itu saja. Ada baiknya coba mengeksplorasi daerah Jawa Barat sampai ke
kampung-kampungnya. Walaupun memang tidak digembor-gemborkan pemerintah sebagai
objek wisata yang menarik, tapi kita bisa mendapatkan kepuasan tersendiri
dengan mengunjungi desa-desa di wilayah Jawa Barat. Banyak desa yang menarik
memang, kalau mengeksplorasi ke daerah Cililin bisa saja menemukan tempat yang
cocok untuk paralayang. Kalau mengeksplorasi ke garut, bisa-bisa menemukan
pantai yang kurang terkenal tapi nggak kalah bagus sama pantai-pantai lainnya.
Desa yang mau saya perkenalkan kali ini letaknya bukan di Kota Bandung tapi di
daerah sekitar Cimahi. Tepatnya dekat dengan TPS leuwi gajah yang
kemarin-kemarin heboh sempat longsor!
Jadi, sebenernya
Cirendeu ini adalah desa tapi karena alasan yang berhubungan dengan kebudayaan
sunda mereka nggak mau disebut desa, jadilah disebut kampung, Kampung Cirendeu.
Begitu datang, auranya udah berbeda saat kita berkunjung ke desa-desa lain.
Kalau biasanya dateng ke suatu desa nggak jelas sebenernya ‘ini udah desanya
apa belum sih?’, kalau kesini kita langsung disambut sama tulisan ‘Wilujeng
Sumping di Kampung Cirendueu’ dan sekaligus ada aksara sundanya. Tulisan ini
menandakan kalau kampung ini mewarisi adat istiadat peninggalan leluhur dan
sampai sekarang masih melestarikannya.
Begitu datang, saya
langsung disambut hangat dan diajak ngobrol ke salah satu rumah di kampung itu.
Ternyata pemilik rumah bernama Abah Emen yang merupakan salah satu sesepuh di
Kampung Cireundeu.. Rumahnya menarik masih mempertahankan arsitektural sunda
dan jaman baheula. Saya diceritakan sejarah kampung ini juga prinsip hidup
warga yang tinggal di Kampung Cirendeu. Kalau bertemu warga harus menyapa
dengan ‘sampurasun!’ jangan dengan ‘punten!’ atau ‘assalamualaikum!’ karena
mayoritas warganya memegang kepercayaan atheisme. Mereka masih menganut
kepercayaan leluhur yaitu aliran kepercayaan, ajaran pangeran madrais. Yang
uniknya, warga di kampung ini sudah nggak mengkonsumsi nasi selama 80 tahun dan
turun temurun mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok. Di kampung ini,
warga juga dengan rutin menggelar upacara saka 1 sura secara rutin. 1 sura bagi
warga di kampung adat sama halnya dengan hari raya bagi masyarakat yang tinggal
di kota.
Upacara 1 sura
bukan hanya sebuah upacara yang tidak memiliki makna, ada makna mendalam yang
tersirat dari upacara ini. Manusia sudah seharusnya sadar dan memahami bahwa
hidup di dunia ini tidak hanya sendirian namun berdampingan dengan makhluk
hidup lainnya. Manusia hidup dengan hewan, tumbuhan, laut, gunung, api kayu,
langit dan elemen lainnya. Oleh karena itu, seharusnya manusia mampu
menempatkan diri sebagai makhluk yang hidup berdampingan dengan makhluk
lainnya, manusia seharusnya menghargai alam dan lingkungan bukannya merusak
alam dan lingkungan.
Setelah selesai
mengobrol dengan Abah Emen, saya akhirnya mulai berjalan menuju balai kampung.
Di perjalanan, saya banyak menemukan tepung singkong yang masih diproses entah
menjadi beras singkong atau kerupuk. Terlihat banyak nampan bambu dan tepung
yang sedang dikeringkan alami dibawah sinar matahari.
Begitu mendekati
balai desa, saya menemukan lagi tulisan yang menarik yang berbunyi ‘Teu boga
sawah asal boga parem teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu,
teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat’ yang kalau diartikan ke bahasa
indonesia ‘ nggak punya sawah asal punya padi, nggak punya padi asal punya
beras, nggak punya beras asal menanak, nggak menanak asal makan, nggak makan
asal kuat’. Di balai pertemuan, saya kembali diceritakan mengenai kebiasaan
pangan warga kampung Cireundeu.
Masyarakat
Kampung Cireundeu tidak mengkonsumsi nasi seperti masyarakat pada umumnya.
Mereka terbiasa mengkonsumsi singkong, bukan karena tidak mampu tapi karena
masih mempertahankan tradisi adat turun-temurun. Singkong diolah menjadi rasi
yang dibuat dari tepung singkong dan rasanya mirip nasi. Selain itu ternyata
rasi lebih bergizi dibandingkan nasi. Harga rasi juga lebih murah dibandingkan
nasi, yaitu Rp. 2000,00 setiap kilonya. Makanya kampung Cireundeu pernah
mendapatkan penghargaan sebagai desa mandiri pangan karena telah meninggalkan
ketergantungan terhadap beras.
Di
balai pertemuan, saya disuguhi berbagai macam makanan selain beras singkong,. Salah
satunya adalah eggroll! Eggroll yang mereka suguhkan kepada saya dibuat dari
singkong dan rasanya enak banget, beda sama yang di pasaran. Ternyata eggroll
menjadi salah satu usaha yang dijalankan ibu-ibu di Kampung Cirendeu. Tapi
sayang, pemasaran untuk eggroll ini kayaknya belum terlalu bagus jadinya hanya
beberapa orang yang pernah berkunjung ke desa ini aja yang tau tentang eggroll.
Di balai
pertemuan juga terlihat banyak alat musik tradisional sunda, ada angklung,
calung, karinding, gamelan sunda dan masih banyak jenis lainnya. Ternyata
masyarakat kampung ini juga turut melestarikan kebudayaan sunda. Balai
pertemuan ini selain untuk kumpul warga juga digunakan untuk latihan kesenian
sunda.
Banyak
manfaat yang didapatkan dari kunjungan ke Kampung Cirendeu. Selain bisa sebagai
objek wisata, kita juga bisa mendapatkan ilmu mengenai kearifan lokal dan lebih
menghargai adat istiadat dari nenek moyang kita. Tapi yang paling saya hargai
adalah prinsip mereka mengenai gotong royong antara warga, karena hal ini di
kota sudah banyak dilupakan. Selain itu yang paling penting adalah mengenai
kearifan lokal. Kita biasanya lupa kodrat kita sebagai manusia yang hidup
bersamaan dengan makhluk hidup lainnya, kadang kita semena-mena dengan alam. Sudah
saatnya kita meningkatkan kesadaran kembali ke pengetahuan asli atau kearifan
tradisional yang berlandaskan keyakinan dan nalar adilogika.
‘
Aku adalah aku yang selaras dengan sekelilingku, bukan aku yang tak tahu siapa
aku sebenernya’ – Buku Mitologi Jawa
'A Glimpse of West Java' - made by me and friends
Kak mau tanya, kalau mau berkunjung harus bikin janji dulu atau bagaimana? terima kasih kak!
BalasHapus